gravatar

Sinopsis Rûnegard

Gerombolan goblin tiba-tiba menyerang Maglavar, sebuah desa di pulau Kanaloa, dimana Rayya dan ketiga adiknya tinggal dan dibesarkan oleh Si Tua Tir selama 10 tahun belakangan ini. Goblin juga menyerang Rig dan Westdown, dataran rendah di sebelah barat Maglavar dan menghancurkannya. Seluruh kepulauan pun dibuat dalam kekacauan.

Kemudian di suatu senja, datanglah Angladf si Penyihir, yang menceritakan segala hal yang mengejutkan Rayya dan adik-adiknya, berikut rahasia menyangkut leluhur dan ayah mereka. Maka mereka pun harus segera pergi dari Maglavar, karena kekhawatiran Angladf dan Si Tua Tir tentang ramalan kuno bangsa Peri. Dipimpin oleh Angladf, mereka pun pergi ke Benua Besar, mencari negeri peri; Eluenmyrra. Dengan bantuan Gellert sang Pelaut, rombongan itu menyeberangi Lautan Utara; Forogaer. Namun malang, Isilharan; kapal yang ditumpangi mereka, tiba-tiba diserang ular laut. Rombongan pun terpecah belah. Rayya yang terdampar di rawa-rawa Taunalagos akhirnya harus menempuh perjalanan melewati lorong-lorong bawah tanah para earthman untuk menemukan jalan kembali ke permukaan dan menemukan kenyataan yang disembunyikan leluhurnya di kedalaman tanah. Sementara adik-adiknya, dipandu oleh seorang pengembara misterius bernama Targar, harus melewati Dataran Tenang, yang ternyata tidaklah ‘tenang’ seperti namanya. Sedangkan Tirius sendiri harus menempuh perjalanan darat, melewati Sagresia, sambil mengkhawatirkan nasib anak-anak yang diasuhnya, sekaligus terjebak dalam kemelut politik istana Sagresia.

Ketika akhirnya mereka berkumpul kembali di Eluenmyrra, berita mengejutkan datang dari para Bijak dan Tetua Peri; bahwa ternyata Perang Besar telah di depan mata, dan Musuh telah bergerak selangkah lebih dulu dengan menyerang Sagresia, kotapraja Rûnegard.

Maka rencana-rencana pun dipaparkan, dengan tergesa-gesa dan akhirnya dengan bermodalkan keberanian. Semua yang merasa terlibat untuk merasakan masa depan yang cerah dan penuh kedamaian, berangkat maju ke medan perang, dan harus menghadapi kecemasan mereka sendiri yang selama ini menghantui. Maka perang akbar yang terjadi 200 tahun lalu pun kembali terulang. Mampukah mereka semua melawan ketakutan dan kecemasan mereka sendiri? Ketika mengetahui bahwa Musuh mereka yang sesungguhnya lebih tua dari sejarah Manusia?

gravatar

PROLOG



Bulan itu bulan September, dan hari itu adalah hari 13 Earen, atau hari Jumat ke-38 menurut Perhitungan Manusia. Fajar belumlah terbit di ufuk timur, dan langit tampak menghitam di atas Palindur. Mendung menggantung di atas Dataran Hitam. Udara terasa sesak dan berat. Suasana begitu mencekam. Semua makhluk hidup tampak waspada. Gerbang Hitam Moram tampak berdiri angkuh dan hitam, menambah kekakuan tempat itu. Perlahan-lahan, gerbang besar itu mulai terbuka, lalu serombongan besar pasukan berderap keluar. Orc-Orc hitam dan goblin berbaju perang, bergerak membentuk barisan dan kompi-kompi, disusul prajurit-prajurit jangkung—para Manusia Selatan, kaum Raksasa, para Beruang dan Manusia Liar dari pesisir Teluk Utara. Mereka membentuk formasi, masing-masing barisan berisi seratus Orc, lalu seratus barisan ke kanan, dan seratus baris lagi ke timur. Sementara ke depan, ada lima puluh lapis. Belum lagi yang masih ada di dalam benteng, lima kali lebih banyak daripada yang ada di luar, ditambah dengan mesin-mesin besar dan berat; catapult, pelontar api dan menara-menara tinggi yang dijaga Orc-Orc pemanah. Itulah kekuatan mengerikan dari sang Penguasa Kegelapan.

Alaric memandang kekuatan besar di depannya tanpa sedikit pun rasa takut. Dia duduk tegak di atas kudanya yang berwarna putih—yang diberi nama Loriand, menggenggam erat pedangnya, The Grand. Tatapannya tajam ke depan, berusaha mengukur kekuatan lawan. Sementara di samping kanannya, Istakir, pemimpin Kaum Bijak, duduk di atas kuda putihnya, Windrush. Orang tua itu menggenggam erat tongkat kayu putihnya. Sedangkan di sisi kiri Alaric, duduk di atas kuda berwarna kelabu yang gagah, Isengrim sang Penguasa Ipsen, siap siaga dan tampak waspada.
Di belakang ketiga orang itu, duduk pada kudanya masing-masing, orang-orang masyhur dan para panglima Sagresia: Nordin dari Utara, Harfig dari Norsanor; Belohir, Paranir dan para marsekal dari Sagresia. Di belakang mereka, sepuluh ribu Ksatria Putih Sagresia dan enam ribu Ksatria Ilsar, siaga di atas kuda masing-masing, dan tujuh ribu Ksatria Ipsen, bersiaga dalam baju zirah mereka yang berkilauan keperakan.
Sementara tak jauh dari sisi kanan rombongan itu, tampak pasukan Habadian yang dipimpin Tarudrim dan Aramir sebanyak lima ribu pasukan dari Pesisir Habad, telah bersiap mendukung di belakang.
Di sisi kiri belakang, Galfagar, memimpin pasukan Lúnmahtar, berjumlah enam ratus orang, berkuda dan berbaju perang lengkap. Meskipun jumlah mereka hanya sedikit, tapi tak ada seorang pun di tempat itu yang meragukan kemampuan bertempur mereka, yang mahir menggunakan tombak-tombak panjang dan pedang-pedang besar. Sementara jauh di sisi kiri, di antara pepohonan, tersembunyi dalam bayang-bayang hutan, tujuh ribu pasukan Peri yang dipimpin Amandil, pemimpin tertinggi Kaum Peri dari Eluenmyrra, bersiap dengan busur dan anak panah mereka. Bersama Amandil, tampak berdiri tegak, orang-orang bijak dari Bukit Penyihir; Angladf, Amrudil, Ranulf, dan Gwenelyn.

Angin bergerak sangat perlahan di Lustarinor, dataran sunyi yang amat luas, di antara Sungai Gemin dan Sungai Baranduin, yang memisahkan antara kedua pasukan besar itu.
Kemudian, bersamaan dengan sinar pagi pertama yang muncul di ufuk timur, tambur dan terompet-terompet perang mulai dibunyikan, genderang-genderang perang, ramai terdengar dari seberang sungai Baranduin. Pasukan Orc dan goblin berteriak-teriak dalam bahasa mereka yang kotor, mencaci dan memaki serta mengutuk lawan mereka dengan suara-suara mereka yang serak.

Sementara itu, Alaric mulai mengangkat pedangnya, lalu terompet-terompet pun berbunyi, mars perang Sagresia mulai dinyanyikan, menambah semangat dan keberanian para pasukan. Lalu dengan gerakan pelan, pasukan pun mulai bergerak melintasi Lustarinor dan menyeberangi Baranduin, maju menuju ke peperangan yang tak bisa dihindari lagi. Semua laki-laki tampak tegang, tapi wajah mereka menampakkan semangat dan jiwa yang membara. Demi kedamaian dan keselamatan manusia. Demi keadilan dan masa depan manusia...

Aiya...
Alaita te laituvalmet, man lelyana Ambarohta
Mi lá caurë tuoquanta ar Alcalanga
An I cuilësérë I Nér Valadia
An I vinyarë I Valadia...

An I Aran an I Norëanan I Oronan
An I Laiquenan an lyefarnan
An Turë I Tuo ana an Mahta - I Hermord
Tuo Amin an ilya sere...

Hari, tanggal, bulan dan tahun itu, akan selamanya diingat dalam sejarah. Sebagai Tahun Gelap ketika Perang Besar berlangsung.

Baca lanjutannya: Bab 1